Kisah JUMBO, Representasi Ketersalingan Sosial
Momen lebaran kemarin menjadi sangat reflektif dengan hadirnya film JUMBO, salah satu film yang agaknya memang ditayangkan bertepatan dengan suasana hari raya. Film ini menarik perhatian seluruh kalangan usia, mulai dari anak-anak hingga dewasa. Film animasi ini menembus dua juta penonton di seluruh Indonesia dalam waktu singkat dari sejak rilis pada 31 Maret 2025.
Tampaknya, film animasi JUMBO berhasil membuat masyarakat terkesan dengan karya anak bangsa ini. Dari hasil penelusuran identitas film ini, proses pembuatan film JUMBO berlangsung selama lima tahun. Proses yang tidak sebentar itu terbayarkan karena film ini mendapatkan ulasan positif dari berbagai kalangan.
Film JUMBO juga memiliki alur cerita yang menarik dan terdapat pesan moral yang tersampaikan. Respon penonton tentunya mengundang emosi yang campur aduk, ada yang tertawa, menangis, mengharukan, kecewa dan tegang. Artinya, film ini telah menyentuh hati penonton dan tentu menjadi rekomendasi tontonan yang cocok untuk seluruh keluarga.
Dilihat dari latar belakang budaya film ini sangat kental dengan Indonesia. Contohnya, ada beberapa iklan produk Indonesia yakni kecap bango dan es krim wall's. Tidak hanya itu, logat bahasa Betawi dan Jawa muncul di film ini. JUMBO sangat berpotensi untuk dikenal di kancah internasional. JUMBO juga mengajarkan beberapa pesan moral yang bisa dipetik untuk refleksi diri.
Memahami Pilar Keluarga Dari Film JUMBO
Kalian bertanya-tanya tidak kenapa Don begitu percaya diri? Sepertinya ada yang bilang juga bahwa Don itu NPD, semacam narsistik yang selalu ingin diperhatikan orang lain. Nah, sahabat Don, Nurman, dia pernah kecewa sama Don karena tidak bisa mendengarkan orang lain, hanya selalu ingin diperhatikan. Sikap Don yang seperti ini bisa dipengaruhi oleh dinamika keluarga.
Film JUMBO sedang menggambarkan dinamika kondisi keluarga. Keluarga tanpa orang tua itu dialami oleh Don dan Atta. Don hanya hidup bersama Omanya, dan sudah lama ditinggalkan oleh Ayah dan Ibunya. Kalau Atta hidup bersama Abangnya, namun kondisi keluarga Atta kebalikan dari Don yang tercukupi.
Dalam konteks keluarga, ada beberapa pilar yang bisa dijadikan pijakan untuk membangun keluarga yang penuh dengan kebaikan. Lingkungan keluarga yang sehat juga akan membentuk karakter anak lebih baik.
1. Zawaj (Berpasangan)
Awal mula keluarga ditandai dengan adanya pasangan yang memiliki tujuan untuk menikah dan kelak juga menjadi orang tua. Ayah dan Ibunya Don dulunya memiliki tujuan itu, hingga akhirnya Don harus melanjutkan hidup tanpa Ayah dan Ibu. Satu pilar ini sedikit goyah, namun kehadiran Oma menggantikan Ayah dan Ibunya Don. Begitu pula Abangnya Atta bertindak sebagai orang tua. Hadirnya lagu "Selalu Ada di Nadimu" mengartikan bahwa Don harus melanjutkan hidup walaupun tanpa sepasang orang tua.
2. Mitsaqon Gholidzon (Perjanjian Kokoh)
Setelah memutuskan berpasangan, antara suami dan istri saling menguatkan ikatan janji suci pernikahan agar kokoh. Dalam konteks film JUMBO, keluarga yang kurang lengkap dengan hadirnya pasangan atau orang tua membutuhkan peran pengganti, contoh Oma atau Abangnya Atta. Seharusnya penjaga ikatan janji adalah orang tua, namun ikatan tersebut diteruskan oleh pemeran pengganti.
3. Muasyarah bil Ma'ruf (Bergaul dengan Baik)
Perjanjian yang kokoh tersebut dapat berlangsung lebih lama ketika antar keluarga saling memperlakukan dengan baik. Pergaulan inti keluarga meliputi antara suami dan istri, orang tua dan anak, menantu dan mertua, serta kakak dan adik. Hubungan baik tentu akan membuat siapa pun nyaman untuk membangun tujuan bersama. Apabila ada peran yang hilang, tentu yang lain akan lebih siap menggantikan demi kemaslahatan bersama. Oma bersedia merawat Don juga sebagai balasan kasih sayang Ayah dan Ibunya Don kepada Oma. Kebaikan-kebaikan tersebut akan menghubungkan satu sama lainnya.
4. Musyawarah (Berdialog)
Keluarga yang sehat ialah saat sesama anggota keluarga terdapat dialog untuk memutuskan sesuatu atau memecahkan persoalan. Film JUMBO mengajarkan itu lewat Oma dan Don. Saat Don sedang ada masalah dengan teman-temannya, Oma mencoba mem-brain stroming Don untuk menemukan akar masalahnya. Don akhirnya sadar kalau Don kurang mendengarkan temannya, Don hanya ingin terus didengarkan. Kata Oma, kalau ingin jadi pencerita yang baik, jadilah pendengar yang baik.
5. Taradhin (Keridhaan)
Ini adalah pilar utama dari keempat pilar di atas. Sebab keridhaan atau saling rela akan membawa ketenangan dalam keluarga. Terlepas dari semua dinamika keluarga, ridha menjadi puncak sakinah mawaddah warahmah setelah semua usaha dilakukan untuk membangun keluarga maslahah. Don lambat laun menerima kalau dia bisa tumbuh tanpa orang tua, begitu pula Atta. Walaupun Atta sempat mengeluh saat makan bersama Abangnya, katanya, "kenapa kita jadi begini si bang". Istilah jawanya, "Nrimo Ing Pandum".
Ketersalingan Sosial: Keluarga dan Pertemanan
Nah, setelah kelima pilar di atas bisa dikendalikan dengan baik, maka dinamika kondisi keluarga bertambah stabil. Meskipun pilar di atas tidak bisa diukur, namun bisa dibiasakan menjadi "family culture". Biasanya anak-anak akan lebih tumbuh secara sehat fisik maupun psikis lewat lingkungan keluarga yang sehat. Tidak harus sempurna, namun perlu terus diupayakan untuk bertumbuh lebih baik.
Sebetulnya tanggung jawab untuk mencapai tujuan sakinah mawaddah warahmah tidak hanya antara ayah dan ibu. Tujuan itu bisa diwariskan oleh mereka kepada anaknya lewat cerita-cerita atau kisah yang membangun impian keluarga. Impian tidak perlu besar, cukup tanamkan nilai-nilai yang bisa dijadikan pedoman anak untuk menghadapi tantangan masa depannya. Nilai-nilai itu juga yang akan menghubungkan ketersalingan antar anggota keluarga maupun teman.
Jadi, film JUMBO sudah mengajari kita banyak hal, mulai dari kehidupan keluarga dan pertemanan. Dari JUMBO, kita belajar untuk hidup saling berdampingan dalam keluarga supaya kokoh ikatannya. Dari JUMBO, kita belajar saling mendengarkan antar teman yang satu dengan yang lainnya agar membangun kepedulian sosial. Sikap merasa "paling" membuat kita tidak bisa melihat, merasakan dan mendengarkan yang lain.
0 Response to "Kisah JUMBO, Representasi Ketersalingan Sosial"
Post a Comment