Setengah Hati Yang Hilang (PART 1)
Kukkuuruuyukkk... kukkuuruuyuukkk
Ayam jantan memberikan tanda bahwa telah datang sang fajar. Mentari pagi pun sudah tak sabar untuk bersinar. Embun pagi pun tampak segar. Tak sadar diriku mengusap-usap mata. Jam menunjukkan pukul lima pagi. Ada yang aneh dengan kamar ini, ada banyak kasur dan bantal di sekitarku. Tapi di mana para pemiliknya. Loh? Bukankah aku tidur seorang diri di kamarku. Lalu siapa mereka? Mataku sudah terbuka lebar, tapi mengapa aku tak kunjung sadar. Terasa seperti mimpi. Aku mencubit kedua pipiku yang tak setebal bakpau. Aauuuww. Sakit ternyata. Aku bukan sedang bermimpi. Ini nyata! Astaghfirullah.. aku baru ingat! Aku ini sekarang Santri. Dan ini adalah kamar baruku, di Pondok Pesantren. Aku langsung bergegas untuk bersiap-siap sholat subuh jama’ah, namun telat sudah. Akhirnya aku sholat sendirian menggelar sajadah pemberian Ayah.
“Aisyah, kamu kenapa telat jama’ah?” teman sekamarku Ucik.
“Aku lupa sekarang aku santri, Cik”
“Ahahaha.. Ada-ada saja kamu ini Syah, Syah..”, gelagak tawa Ucik membuatku kesal.
“Ihh Ucik, aku kan masuk ke sini terpaksa tau. Kalua bukan karena Ayah, aku tak akan mau mondok.”
“Sudahlah, jalani aja. Aku juga sama seperti kamu dulu. Tapi lama-lama kamu bakalan betah kok. Percaya deh!”, ujarnya seolah meyakinkanku.
Aku masih belum percaya berada di sebuah penjara tapi bukan penjara orang-orang jahat. Penjara ini tempatnya orang-orang baik yang suka mengaji bukan orang-orang jahat yang suka mencuri. Aku mengatakan penjara karena segala aktivitas di sini ada peraturannya. Tidak sebebas ketika aku sedang di rumah. Tiga hari sudah aku lalui dan berusaha menyesuaikan diri namun sulit untuk aku lakukan. Raga boleh saja menerima, namun hatiku masih belum ikhlas.
Aku Aisyah. Seorang gadis yang sedang menempuh pendidikan tinggi di salah satu PTKIN kota Pekalongan. Sekarang aku sudah resmi menjadi mahasiswa di IAIN Pekalongan. Jurusan yang aku ambil ialah Komunikasi Penyiaran Islam. Aku memilih jurusan itu karena aku suka bidang tulis menulis dan jurnalistik. Awalnya aku tidak ingin kuliah di Pekalongan. Aku sudah memiliki mimpi sendiri untuk kuliah di Kota Yogyakarta. Meskipun sangat disayangkan jika aku bisa mewujudkan mimpi itu, namun sebenarnya tujuanku satu yaitu menyenangkan hati orang tua. Salah satu kesenangan orang tuaku ketika aku tetap berada di sisi mereka. Inilah yang menyebabkan aku tidak bisa mewujudkan mimpi kuliah di Yogyakarta. Aku menyadari hanya dengan cara inilah orang tuaku bisa merasakan tenang tanpa rasa khawatir anaknya jauh. Beruntungnya di IAIN Pekalongan ada jurusan yang aku minati dan aku yakin bisa menjalani dengan sepenuh hati.
Sayangnya, keputusan dari orang tuaku ada yang tidak aku sukai dan sangat sulit bagiku untuk menerimanya. Aku di pondokkan. Sebab jika aku mondok sambil kuliah pasti akan aman dalam pergaulan. Orang tuaku mungkin bisa dikatakan over protective, namun dibalik itu semua mereka memiliki maksud yang baik. Wajar saja, aku adalah anak perempuan satu-satunya di keluargaku. Aku adalah bungsu dari tiga bersaudara. Kedua kakakku laki-laki dan masing-masing sudah menikah. Ya betul.. Orang tuaku tinggal denganku saja, sebab kedua kakakku memilih tinggal dengan keluarganya masing-masing. Statusku yang bungsu apalagi perempuan dijadikan sebagai alasan orang tuaku memasukkan aku ke pondok pesantren.
Pondok pesantren yang aku diami sekarang merupakan pondok yang sudah menjalin kerjasama dengan IAIN Pekalongan. Tempatnya tidak jauh dari kampus. Aku cukup menggunakan sepeda dalam waktu sepuluh menit sudah sampai di kampus. Sebut saja pondokku ini dengan Ma’had. Istilah tempat yang sering digemingkan oleh para santri. Oh ma’had, sampai kapan aku bisa menerimamu dengan sepenuh hati?
Bersambung...
Tunggu part selanjutnya ya.. Jangan lupa follow blogspot Aina. Terimakasih. 🤗
0 Response to "Setengah Hati Yang Hilang (PART 1)"
Post a Comment