RESENSI FILM "BUMI MANUSIA" : ANTARA PRIBUMI DAN GOLONGAN EROPA

 


Identitas Film

Judul                           : Bumi Manusia

Sutradara                     : Hanung Bramantyo

Produser                      : Frederica

Penulis Skenario          : Salman Aristo

Tahun Tayang             : 2019 @falcon pictures

Film 'Bumi Manusia' merupakan sebuah film yang dikisahkan oleh Salman Aristo dalam skenarionya dari kisah kehidupan zaman Hinda Belanda di novel Pramoedya Ananta Toer berjudul Bumi Manusia. Pramoedya Ananta Toer meninggal dunia sejak 30 April 2006. Oleh karena itu, film ini dipersembahkan untuk mengenang penulis tersohor tersebut. Penulis ini pernah dua kali dinominasikan menerima Nobel atas karya-karyanya di bidang sastra. Film yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo ini sukses tayang pada tahun 2019.

Film yang bernuansa tempo dulu ini menceritakan kisah seorang jenius jebolan HBS bernama Minke. Seorang ningrat yang sedang menuntut ilmunya di sekolah orang Belanda terhipnotis oleh kehidupan orang-orang Eropa. Kekagumannya terhadap Eropa juga membawa perasaannya jatuh kepada seorang gadis bernama Annelies Mellema. Gadis ini membuat Minke terpesona atas kecantikannya. Wajahnya seperti Noni Belanda, namun darahnya adalah campuran darah pribumi. Perjalanan cinta mereka tidak selalu berjalan mulus. Banyak rintangan yang terjadi di antara mereka. Konflik ini bermula dari Minke yang sering membolos sekolah di HBS karena ingin membahagiakan Annelies. Walaupun harus mengorbankan pendidikannya, apapun telah dilakukan Minke agar mereka tetap bisa bersama.

Dibalik kisah asmara mereka, dalam film ini menceritakan dinamika sejarah Indonesia pada saat diduduki oleh Belanda. Kegiatan perekonomian di Indonesia saat itu hampir dikuasai oleh orang-orang Belanda. Di sisi lain, film ini juga menggambarkan bahwa seorang Nyai atau Gundik belum dihargai sebagai perempuan. Contohnya, salah satu tokoh yaitu Nyai Ontosoroh dulunya adalah seorang anak dari pekerja Belanda. Sewaktu kecil Nyai Ontosoroh ditukarkan oleh ayahnya sendiri dengan posisi jabatan yang lebih tinggi. Nyai Ontosoroh dijadikan sebagai isteri sirri dari Herman Mellema. Dapat dilihat dari peristiwa ini, waktu zaman penjajahan Belanda, seorang perempuan kurang dihargai.

Penataan tempat atau scene sangatlah bagus dan sesuai dengan tempo dulu. Totalitas film ini yang menggambarkan kehidupan zaman penjajahan Belanda, terlihat dari properti dan peran warga Belanda yang secara langsung dimainkan oleh orang Belanda. Pemilihan wajah dan karakternya sangat tepat. Ceritanya dikemas dengan gaya suasana tempo dulu. Selain itu, settingnya juga gaya bangunan-bangunan Belanda dan kerajaan. Perpaduan antara suasana dan backsoundnya telah sesuai dengan keadaannya. Ada kesan tersendiri ketika menonton film ini yaitu saat scene Minke yang telah mendapatkan prestasi menjadi lulusan terbaik HBS. Dia telah membuktikan bahwa tanggung jawab sebagai seorang pelajar mampu dia jalankan dengan hasil yang memuaskan. Di sisi lain, Minke pernah membolos sekolah dan memilih untuk pergi ke Wonokromo demi membantu permasalahan hukum yang terjadi pada Nyai Ontosoroh dan Annelies Mellema.

Dalam film ini juga menayangkan adegan dewasa, namun ketika permulaan penayangan tidak ada identitas yang menampilkan bahwa ini adalah film dewasa. Pada akhir film, Minke dan Annelies Mellema tidak dapat bersatu kembali dalam sebuah ikatan perkawinan. Hal ini karena pada saat menikah, mereka menggunakan hukum perkawinan Islam yang sesuai dengan syariat. Sedangkan Annelies Mellema status hubungan nasab mengikuti ayahnya keturunan orang Belanda. Akibatnya, perkawinan mereka tidak sah di mata hukum Belanda, walaupun secara hukum Islam tetap diakui. Sehingga film ini memiliki akhir cerita dengan suasana haru.

Secara keseluruhan tokoh dalam film ini telah diperankan dengan baik. Minke adalah sosok yang memiliki karakter bertanggung jawab, jenius, penolong, dan suka dengan tantangan. Annelies Mellema memiliki karakter yang lembut, pintar, dan lebih menyukai hal-hal yang tradisional. Nyai Ontosoroh memiliki karakter yang tegas, pekerja keras, mandiri, dan penyayang. Itulah beberapa karakter yang mendominasi dalam film ini. Untuk pemeran film yang lain, menurut penulis hanya sebagai pendukung film dan sudah diperankan dengan baik pula.

Dari film ini, kita dapat belajar tentang sejarah hukum Islam pada waktu kolonial Belanda. Selain itu, film ini juga mengajarkan cara menghargai seorang perempuan melalui karakter Minke dan Nyai Ontosoroh. Film ini juga memperlihatkan sistem peradilan yang ada dalam zaman panjajahan kolonial Belanda. Sehingga film ini sangat cocok untuk dibca oleh masyarakat umum, mahasiswa dan aktivis sejarah atau pegiat sejarah. Harapannya film seperti ini laris di dunia perfilman Indonesia karena mengulik tentang kehidupan sejarah Indonesia pada masa lampau. Banyak orang yang tidak suka membaca tetapi lebih suka menonton film karena lebih praktis. Nah, hal seperti ini perlu dimanfaatkan oleh produser film untuk memproduksi film-film yang edukatif dan menginspirasi.

Penulis : Ihza Maulina dalam Buletin KOPER MEDIA 2021 by Kojahan Pergerakan 

0 Response to "RESENSI FILM "BUMI MANUSIA" : ANTARA PRIBUMI DAN GOLONGAN EROPA"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel